MAKALAH HAK ASASI MANUSIA DAN DEMOKRASI MENURUT PANDANGAN ISLAM
MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
HAK ASASI MANUSIA DAN DEMOKRASI MENURUT
PANDANGAN ISLAM
Disusun Oleh
Kelompok 5
1. ZAINUL
FAOZI
(E1R016096)
2. SYASTIKA
YUNIARTI (C1M016176)
3. UTAMI
PUTRI PAHLEVI (C1M016181)
4. VIA
AULIA INSANI (C1M016182)
5. PUTRI
WAHYUNI
(J1B016084)
UNIVERSITAS MATARAM
2016/2017
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan
kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul HAM dan Demokrasi menurut
pandangan Islam. Penulisan makalah ini merupakan tugas yang diberikan
dalam mata kuliah Pendidikan Agama Islam di Universitas Mataram.
Kami merasa masih banyak kekurangan baik
dalam teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Oleh
karena itu, kami mohon kritik dan saran yang membangun dari semua
pihak demi penyempurnaan penulisan makalah ini.
Kami menyampaikan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian
makalah ini, khususnya kepada dosen yang telah memberikan tugas dan
petunjuk kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
ini.
Akhir kata, kami berharap semoga penulisan makalah ini dapat bermanfaat bagi kami
maupun rekan-rekan, sehingga dapat menambah pengetahuan kita bersama.
Mataram, 18 Januari 2017
Kelompok
5
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada hakekatnya manusia sudah memiiki hak-hak
pokok dari lahir sampai meninggal. Hak-hak pokok tersebut adalah hak asasi
manuasia yang dikenal dengan HAM. Hak asasi manusia bersifat universal. Hak
asasi manusia ( HAM ) dalam Islam berbeda dengan hak asasi menurut pengertian
yang umum dikenal. Sebab seluruh hak merupakan kewajiban bagi negara maupun
individu yang tidak boleh diabaikan. Rasulullah saw pernah bersabda: "Sesungguhnya
darahmu, hartamu dan kehormatanmu haram atas kamu”. Maka negara bukan saja
menahan diri dari menyentuh hak-hak asasi ini, melainkan mempunyai kewajiban
memberikan dan menjamin hak-hak ini.
Sebagai contoh, negara berkewajiban menjamin
perlindungan sosial bagi setiap individu tanpa ada perbedaan jenis kelamin, status
sosialnya, dan juga perbedaan agamanya. Islam tidak hanya
menjadikan itu sebagai kewajiban negara, melainkan negara diperintahkan untuk
berperang demi melindungi hak-hak ini.
Disisi lain umat Islam sering kebingungan
dengan istilah demokrasi. Di saat yang sama, demokrasi bagi sebagian umat Islam
sampai dengan hari ini masih belum bisa diterima secara utuh.
Sebagian kalangan memang bisa menerima tanpa timbal balik, sementara
yang lain, justru bersikap ekstrim. Menolak bahkan mengharamkannya sama
sekali. Sebenarnya banyak yang tidak bersikap seperti keduanya.
Artinya, banyak yang tidak mau bersikap apapun. Kondisi ini dipicu dari
kalangan umat Islam sendiri yang kurang memahami bagaimana Islam memandang
demokrasi.
Kami akan membahas mengenai bagaimana sebenarnya
HAM dan Demokrasi menurut ajaran dan pandangannya islam dalam makalah ini.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka
permasalahan yang dapat diuraikan adalah sebagai berikut:
· Apa
pengertian HAM?
· Bagaimana
sejarah hak asasi manusia?
· Bagaimana
latar belakang adanya HAM?
· Bagaimana
perspektif islam terhadap hak asasi manusia?
· Apa
saja dasar-dasar hak asasi manusia dalam Al-Qur’an?
· Apa pengertian
demokrasi demokrasi?
· Bagaimana
asal-usul demokrasi?
· Bagaimana
Islam memandang demokrasi?
· Apa
saja prinsip-prinsip demokrasi?
C. Tujuan
Penulisan
· Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
· Memahami apa
itu hak asasi manusia.
· Mengetahui
sejarah hak asasi manusia.
· Mengetahui
latar belakang pemikiran hak asasi manusia.
· Memahami
perspektif islam terhadap hak asasi manusia.
· Mengetahui
dasar-dasar hak asasi manusia dalam Al-Qur’an.
· Memahami
pengertian demokrasi.
· Mengetahui
bagaimana asal-usul demokrasi.
· Memahami
pandangan islam terhadap demokrasi.
· Mengetahui
prinsip-prinsip demokrasi dalam islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. HAK
ASASI MANUSIA DALAM ISLAM
1. Pengertian
Hak Asasi Manusia (HAM)
Didalam kamus besar bahasa Indonesia, Hak
asasi diartikan sebagai hak dasar atau hak pokok seperti hak hidup dan hak
mendapatkan perlindungan. Hak-hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki
manusia menurut kodratnya, yang tak dapat dipisahkan daripada hakekatnya dan karena
itu bersifat suci.
Selanjutnya hak-hak asasi manusia yang
dianggap sebagai hak yang dibawa sejak seseorang lahir ke dunia
adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Pencipta (hak yang bersifat
kodratif). Oleh karena itu, tidak ada satu kekuasaan pun di dunia yang dapat
mencabutnya. Jadi, hak asasi mengandung kebebasan secara mutlak tanpa
mengindahkan hak-hak dan kepentingan orang lain. Karena itu HAM atas dasar yang
paling fundamental yaitu hak kebebasan dan hak persamaan. Dari kedua dasar ini
pula lahir HAM yang lainnya.
2. Hak-hak
Asasi Manusia dan Sejarahnya
Kedatangan Islam di muka bumi yang
dibawa oleh Nabi Muhammad SAW bertujuan untuk membawa rahmat bagi makhluk seisi
bumi termasuk didalamnya manusia. Menurut ajaran Islam, manusia tidak hanya
menjadi objek tapi sekaligus menjadi subjek bagi terciptanya keselamatan dan
kedamaian itu. Oleh karena itu, setiap muslim dituntut
pertanggungjawaban atas keselamatan diri dan lingkungannya. Seorang muslim
harus dapat memberikan rasa aman bagi orang lain baik dari ucapan maupun
tindak-tanduknya.
Berdasarkan ini, maka penghargaan tertinggi
kepada manusia dan kemanusiaan menjadi perhatian yang paling utama dan
prinsipil di dalam Islam. Penghargaan yang tidak dibatasi oleh kesukuan, ras,
warna kulit, kebangsaan dan agama. Misalnya nilai persamaan, persaudaraan, dan
kemerdekaan merupakan nilai-nilai universal Islam yang berlaku pula untuk
seluruh umat manusia di jagad raya ini. Hal ini tercermin dari penegasan Allah
didalam kitab suci al-qur’an :
“Sesungguhnya kami telah memuliakan Bani Adam
(manusia) dan Kami angkat mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka
rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan” (Q.S.
Al-Isra’/17:70).
Hal itu sesungguhnya manusialah yang
diberikan kebebasan memilih antara hal-hal yang baik dan yang buruk, benar dan
salah, bermanfaat dan mendatangkan mudarat dan sebagainya. Kunci dari itu semua
adalah manusia dikaruniai akal pikiran dan hati nurani (qalb). Untuk dapat
menjalankan tugas dan fungsi kekhalifahan itu setiap manusia harus mengerti
terlebih dahulu hak-hak dasar yang melekat pada dirinya seperti kebebasan,
persamaan, perlindungan dan sebagainya. Hak-hak tersebut bukan merupakan
pemberian seseorang, organisasi, atau Negara tapi adalah anugerah dari Allah
yang sudah dibawanya sejak lahir ke alam dunia. Hak-hak itulah yang kemudian
disebut dengan Hak Asasi Manusia (HAM).
Tanpa memahami hak-hak tersebut mustahil
ia dapat menjalankan tugas serta kewajibannya sebagai khalifah Tuhan. Namun
persoalannya, apakah setiap manusia dan setiap muslim sudah menyadari hak-hak
tersebut? Jawabnya, mungkin belum setiap orang, termasuk umat Islam
menyadarinya. Hal ini mungkin akibat rendahnya pendidikan atau sistem sosial
politik dan budaya disuatu tempat yang tidak kondusif untuk anak dapat
berkembang dengan sempurna.
3. Latar
Belakang Pemikiran tentang HAM
Manusia pada dasarnya berasal dari satu ayah
dan satu ibu, yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia, membentuk aneka
ragam suku dan bangsa serta bahasa dan warna kulit yang berbeda-beda. Karena
itu manusia menurut pandangan Islam adalah umat yang satu “ummatun
wahidatun”.
Karena manusia itu bersaudara yang saling
mengasihi dan sama derajatnya, manusia tidak boleh diperbudak oleh manusia lain.
Manusia bebas dalam kemauan dan perbuatan, bebas dari tekanan dan paksaan orang
lain. Manusia, menurut islam, hanya milik Allah dan hamba Allah (‘Abd Allah)
dan tidak boleh menjadi hamba dari makhluk-Nya, termasuk hamba dari manusia.
Dari ajaran dasar persaudaraan, persamaan dan
kebebasan ini pula timbul manusia yang lainnya. Seperti kebebasan dari
kekurangan, rasa takut, meyalurkan pendapat, bergerak, kebebasan dari
penganiayaan dan penyiksaan. Hal ini mencakup semua sisi dari apa yang disebut
hak-hak asasi manusia seperti hak hidup, hak memiliki harta, hak berfikir, hak
berbicara dan mengeluarkan pendapat, mendapat pekerjaan, hak memperoleh
pendidikan, hak memperoleh keadilan, hak berkeluarga dan hak diperlakukan
sebagai manusia yang terhormat (mulia) dan sebagainya.
4. Perspektif
Islam tentang Hak Asasi Manusia
a. HAM sebagai
tuntutan fitrah manusia
Manusia adalah puncak ciptaan tuhan. Ia
dikirim kebumi untuk menjadi khalifah atau wakil-Nya. Oleh karena itu setiap
perbuatan yang membawa perbaikan manusia oleh sesama manusia sendiri mempunyai
nilai kebaikan dan keluhuran kosmis, menjangkau batas-batas jagad raya,
menyimpan kebenaran dan kebaikan universal, suatu nilai yang berdimensi
kesemestaan seluruh alam.
Berdasarkan pandangan ini, maka manusia
memikul beban serta tanggung jawab sebagai individu dihadapan Tuhan-Nya kelak,
tanpa kemungkinan untuk mendelegasikannya kepada pribadi lain. Punya
pertanggung jawaban yang dituntut dari seseorang haruslah didahului oleh
kebebasan memilih. Tanpa adanya kebebasan itu lantas dituntut dari padanya
pertanggung jawaban, adalah suatu kezaliman dan ketidakadilan, yang jelas hal
itu bertentangan sekali dengan sifat Allah yang maha adil.
Berkaitan dengan penggunaan hak-hak individu
itu, yang mempunyai hak dianggap menyalahgunakan haknya apabila:
1. Dengan
perbuatannya dapat merugikan orang lain.
2. Perbuatan
itu tidak menghasilkan manfaat bagi dirinya, sebaliknya menimbulkan kerugian
baginya.
3. Perbuatan
itu menimbulkan bencana umum bagi masyarakat.
b. Perimbangan antara
hak-hak individu dan masyarakat
Untuk menjaga keseimbangan antara hak-hak
individu masyarakat,didalam islam tidak dikenal adanya kepemilikan mutlak pada
manusia. Oleh karena itu,didalam syariat islam apabila disebut hak Allah,maka
yang dimaksud adalah hak masyarakat atau hak umum. Allah adalah pemilik yang
sesungguhnya terhadap alam semesta,termasuk apa yang dimiliki oleh manusia itu
sendiri. Hal ini ditegaskan oleh firman-nya antara lain:
1. “Ketahuilah
bahwa milik Allahlah apa-apa yang ada dilangit dan dibumi” (Q.S
Yunus/10:55)
2. “Dan
Dialah yang menciptakan bagimu semua yang terdapat dibumi” (Q.S
Al-Baqarah/2:29)
3. “Dan
berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang telah dikaruniakan-Nya
kepadamu” (Q.S An-Nuur/24:33)
4. “……..di
dalam harta mereka tersedia bagian tertentu bagi orang miskin yang meminta dan
tak punya” (Q.S Al-Ma’arij/70:24:25)
5. Dasar-dasar
Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Al-Qur’an
a. Hak berekspresi dan
mengeluarkan pendapat
Al-Qur’an menegaskan:
· “Dan
hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Dan merekalah
orang-orang yang beruntung” (Q.S Ali-Imran/3:104)
· “Hendaklah
kamu saling berpesan kepada kebenaran dan saling berpesan dengan penuh
kesabaran” (Q.S Al-Ashr/103:3)
· “Berilah
berita gembira kepada hamba-Ku yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa
yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah
petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal” (Q.S
Az-Zumar/39:17:18)
Ayat-ayat diatas menegaskan bahwa setiap orang
berhak menyampaikan pendapatnya kepada orang lain, mengingatkan kepada
kebenaran, kebajikan serta mencegah kemungkaran. Bahkan hal itu disampaikan
bukan saja karena ada hak tapi sekaligus merupakan suatu kewajiban sebagai
orang beriman.
b. Hak kebebasan
memilih agama
Sehubungan dengan kebebasan memilih agama dan
kepercayaan, Al-Qur’an menyebutkan antara lain:
· “Tidak
ada paksaan untuk (memasuki) agama (islam), sesungguhnya telah jelas jalan
yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu barang siapa yang Ingkar
kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah
berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Q.S Al-Baqarah/2:256)
· “Dan
katakanlah, kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barang siapa
yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir)
biarlah ia kafir…” (Q.S Al-kahfi/18:29)
· “Dan
jikalau Tuhanmu menghendaki tentulah beriman semua orang yang dimuka bumi
seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi
orang-orang yang beriman semuanya ?“ (Q.S. Yunus/10:99)
Berdasarkan ayat-ayat diatas, jelaslah
bahwa masalah menganut suatu agama atau kepercayaan sepenuhnya diserahkan kepada
manusia itu sendiri untuk memilihnya. Didalam islam, kita hanya diperintah
untuk berdakwah yang bertujuan menyeru, mengajak dan membimbing seseorang
kepada kebenaran itu. Dakwah bertujuan juga untuk menegakkan “Al-Amru
bil ma’ruf wa al-nahyu ‘an al-munkar” (menyeru kepada kebajikan serta
mencegah dari kemjungkaran ).
c. Hak dan kesempatan
yang sama untuk memperoleh kesejahteraan sosial
Sehubungan dengan hak untuk memperoleh
kesempatan yang sama ini Al-Qur’an menyebutkan sebagai berikut :
“ Dialah orang yang menjadikan segala yang
ada dibumi ini untuk kamu…..” (Q.S Al-Baqarah/2:29)
Ayat ini menjadi dasar setiap orang
mempunyai kesempatan yang sama untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dari apa-apa
yang sudah disiapkan Allah dipermukaan bumi ini. Islam mengajarkan kepada
umatnya untuk mendapatkan Rezki yang halal dan baik hal ini di tegaskan dalam
firman-Nya :
“
Hai sekalian Manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat
dibumi…..” (Q.S Al-Baqarah/2:168)
B. DEMOKRASI DALAM
ISLAM
1. Pengertian
Demokrasi
Dalam teori, demokrasi adalah pemerintahan
oleh rakyat dengan kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan
langsung oleh mereka atau wakil-wakil yang mereka pilih di bawah sistem
pemilihan bebas. Lincoln (1863) menyatakan “Demokrasi adalah
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat”. Dalam sistem demokrasi, rakyatlah yang dianggap berdaulat,
rakyat yang membuat hukum dan orang yang dipilih rakyat harus melaksanakan apa
yang telah ditetapkan rakyat tersebut.
Selain itu, demokrasi juga menyerukan
kebebasan manusia secara menyeluruh dalam hal :
a. Kebebasan
beragama
b. Kebebasan
berpendapat
c. Kebebasan
kepemilikan
d. Kebebasan
bertingkah laku
Inilah fakta demokrasi yang saat ini dianut
dan digunakan oleh hampir semua negara yang ada di dunia. Tentu saja dalam
implementasinya akan mengalami variasi-variasi tertentu yang dilatar belakangi
oleh kebiasaan, adat istiadat serta agama yang dominan di suatu negara. Namun, variasi
yang ada hanyalah terjadi pada bagian cabang bukan pada prinsip tersebut.
2. Asal
Usul Demokrasi
Istilah demokrasi berasal dari bahasa
Yunani demokratia “kekuasaan rakyat”, yang dibentuk dari
kata demos “rakyat” dan kratos “kekuasaan”,
merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan
ke-4 SM di kota Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat
pada tahun 508 SM.
Sebelum istilah demokrasi ditemukan oleh
penduduk Yunani, bentuk sederhana dari demokrasi telah ditemukan sejak 4000 SM
di Mesopotamia. Ketika itu, bangsa Sumeria memiliki beberapa kota yang
independen. Di setiap kota tersebut para rakyat seringkali berkumpul untuk
mendiskusikan suatu permasalahan dan keputusan pun diambil berdasarkan
konsensus atau mufakat.
Barulah pada 508 SM, penduduk Athena di
Yunani membentuk sistem pemerintahan yang merupakan cikal bakal dari demokrasi
modern. Yunani kala itu terdiri dari 1.500 kota (poleis) yang kecil dan
independen. Kota tersebut memiliki sistem pemerintahan yang berbeda-beda, ada
yang oligarki, monarki, tirani dan juga demokrasi. Salah satunya Athena,
kota yang mencoba sebuah model pemerintahan baru yaitu demokrasi langsung.
Penggagas dari demokrasi tersebut pertama kali adalah Solon, seorang penyair
dan negarawan. Paket pembaruan konstitusi yang ditulisnya pada 594 SM menjadi
dasar bagi demokrasi di Athena namun Solon tidak berhasil membuat perubahan.
Demokrasi baru dapat tercapai seratus tahun kemudian oleh Kleisthenes, seorang
bangsawan Athena. Dalam demokrasi tersebut, tidak ada perwakilan dalam
pemerintahan sebaliknya setiap orang mewakili dirinya sendiri dengan
mengeluarkan pendapat dan memilih kebijakan. Namun dari sekitar 150.000
penduduk Athena, hanya seperlimanya yang dapat menjadi rakyat dan menyuarakan
pendapat mereka.
Menurut Syaikh Abdul Qadim Zallum, dalam
kitabnya Demokrasi Sistem Kufur, demokrasi mempunyai latar belakang
sosio-historis yang tipikal Barat selepas Abad Pertengahan, yakni situasi yang
dipenuhi semangat untuk mengeliminir pengaruh dan peran agama dalam kehidupan
manusia. Demokrasi lahir sebagai anti-tesis terhadap dominasi agama dan gereja
terhadap masyarakat Barat. Karena itu, demokrasi adalah ide yang anti agama,
dalam arti idenya tidak bersumber dari agama dan tidak menjadikan agama sebagai
kaidah-kaidah berdemokrasi. Orang beragama tertentu bisa saja berdemokrasi,
tetapi agamanya mustahil menjadi aturan main dalam berdemokrasi. Secara implisit,
beliau mencoba mengingatkan mereka yang menerima demokrasi secara buta, tanpa
menilik latar belakang dan situasi sejarah yang melingkupi kelahirannya.
3. Demokrasi
dan Islam
Kedaulatan mutlak dan keesaan Tuhan yang
terkandung dalam konsep tauhid dan peranan manusia yang terkandung dalam konsep
khilafah memberikan kerangka yang dengannya para cendekiawan belakangan ini
mengembangkan teori politik tertentu yang dapat dianggap demokratis. Didalamnya
tercakup definisi khusus dan pengakuan terhadap kedaulatan rakyat, tekanan pada
kesamaan derajat manusia, dan kewajiban rakyat sebagai pengemban pemerintahan.
Dalam penjelasan mengenai demokrasi dalam
kerangka konseptual islam, banyak perhatian diberikan pada beberapa aspek
khusus dari ranah sosial dan politik. Demokrasi islam dianggap sebagai sistem
yang mengukuhkan konsep-konsep Islami yang sudah lama berakar, yaitu
musyawarah (syura), persetujuan (ijma’), dan
penilaian interpretative yang mandiri (ijtihad). Seperti banyak
konsep dalam tradisi politik Barat, istilah-istilah ini tidak selalu dikaitkan
dengan pranata demokrasi dan mempunyai banyak konteks dalam wacana Muslim
dewasa ini. Namun, lepas dari konteks dan pemakaian lainnya, istilah-istilah
ini sangat penting dalam perdebatan menyangkut demokratisasi dikalangan
masyarakat muslim.
Perlunya musyawarah merupakan konsekuensi
politik kekhalifahan manusia. Oleh karena itu perwakilan rakyat dalam sebuah
negara Islam tercermin terutama dalam doktrin musyawarah. Hal ini disebabkan
menurut ajaran Islam, setiap muslim yang dewasa dan berakal sehat, baik pria maupun
wanita adalah khalifah Allah di bumi. Dalam bidang politik, umat Islam
mendelegasikan kekuasaan mereka kepada penguasa dan pendapat mereka harus
diperhatikan dalam menangani masalah negara. Kemestian bermusyawarah dalam
menyelesaikan masalah-masalah ijtihadiyyah, dalam surat Al-syura ayat 3 :
“Dan orang-orang yang menerima seruan
Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami
berikan kepada mereka”.(QS Asy-Syura : 38).
Disamping musyawarah ada hal lain yang sangat
penting dalam masalah demokrasi, yakni konsensus atau ijma’. Konsensus
memainkan peranan yang menentukan dalam perkembangan hukum Islam dan memberikan
sumbangan sangat besar pada korpus hukum atau tafsir hukum. Dalam pengertian
yang lebih luas, konsensus dan musyawarah sering dipandang sebagai landasan
yang efektif bagi demokrasi Islam modern.
Selain syura dan ijma’, ada konsep yang
sangat penting dalam proses demokrasi Islam, yakni ijtihad. Bagi para pemikir
muslim, upaya ini merupakan langkah kunci menuju penerapan perintah Tuhan di
suatu tempat atau waktu. Hal ini dengan jelas dinyatakan oleh Khursid
Ahmad: “Tuhan hanya mewahyukan prinsip-prinsip utama dan memberi
manusia kebebasan untuk menerapkan prinsip-prinsip tersebut dengan arah yang
sesuai dengan semangat dan keadaan zamannya”. Itjihad dapat berbentuk
seruan untuk melakukan pembaharuan, karena prinsip-prinsip Islam itu bersifat
dinamis, pendekatan kitalah yang telah menjadi statis. Oleh karena itu sudah
selayaknya dilakukan pemikiran ulang yang mendasar untuk membuka jalan bagi
munculnya eksplorasi, inovasi dan kreativitas.
Dalam pengertian politik murni, Muhammad
Iqbal menegaskan hubungan antara konsensus demokratisasi dan ijtihad. Dalam
bukunya The Reconstruction of Religious Thought in Islam ia
menyatakan bahwa tumbuhnya semangat republik dan pembentukan secara
bertahap majelis-majelis legislatif di negara-negara muslim merupakan langkah
awal yang besar. Musyawarah, konsensus, dan ijtihad merupakan konsep-konsep
yang sangat penting bagi artikulasi demokrasi islam dalam kerangka Keesaan
Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia sebagai khalifah-Nya.
4. Prinsip-prinsip
demokrasi dalam islam
Pertama, Syura merupakan
suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan yang secara eksplisit
ditegaskan dalam al-Qur’an. Misalnya saja disebut dalam QS. As-Syura:38 dan Ali
Imran:159. Dalam praktik kehidupan umat Islam, lembaga yang paling dikenal
sebagai pelaksana syura adalah ahl halli wa-l‘aqdi pada zaman
khulafaurrasyidin. Lembaga ini lebih menyerupai tim formatur yang bertugas
memilih kepala negara atau khalifah.
Jelas bahwa musyawarah sangat diperlukan
sebagai bahan pertimbangan dan tanggung jawab bersama di dalam setiap
mengeluarkan sebuah keputusan. Dengan begitu, setiap keputusan yang dikeluarkan
oleh pemerintah akan menjadi tanggung jawab bersama. Sikap musyawarah juga
merupakan bentuk dari pemberian penghargaan terhadap orang lain karena
pendapat-pendapat yang disampaikan menjadi pertimbangan bersama.
Kedua, al-‘adalah adalah
keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasuk rekrutmen dalam berbagai
jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil dan bijaksana. Arti pentingnya
penegakan keadilan dalam sebuah pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah SWT
dalam beberapa ayat-Nya, antara lain dalam surat an-Nahl: 90; QS. as-Syura: 15;
al-Maidah: 8; An-Nisa’: 58, dan seterusnya. Prinsip keadilan dalam sebuah negara
sangat diperlukan, sehingga ada ungkapan yang berbunyi “Negara yang berkeadilan
akan lestari kendati ia negara kafir, sebaliknya negara yang zalim akan hancur
meski ia negara (yang mengatasnamakan) Islam”.
Ketiga, al-Musawah adalah
kesejajaran, artinya tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi dari yang lain
sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan
kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini
penting dalam suatu pemerintahan demi menghindari hegemoni penguasa atas
rakyat.
Dalam perspektif Islam, pemerintah adalah
orang atau institusi yang diberi wewenang dan kepercayaan oleh rakyat melalui
pemilihan yang jujur dan adil untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan dan
undang-undang yang telah dibuat. Oleh sebab itu pemerintah memiliki tanggung
jawab besar dihadapan rakyat demikian juga kepada Tuhan. Dengan begitu
pemerintah harus amanah, memiliki sikap dan perilaku yang dapat dipercaya,
jujur dan adil. Sebagian ulama’ memahami al-musawah ini sebagai konsekuensi
logis dari prinsip al-syura dan al-‘adalah. Diantara dalil al-Qur’an yang
sering digunakan dalam hal ini adalah surat al-Hujurat:13.
Keempat, al-Amanah adalah
sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan seseorang kepada orang lain. Oleh
sebab itu kepercayaan atau amanah tersebut harus dijaga dengan baik. Dalam
konteks kenegaraan, pemimpin atau pemerintah yang diberikan kepercayaan oleh
rakyat harus mampu melaksanakan kepercayaan tersebut dengan penuh rasa tanggung
jawab. Persoalan amanah ini terkait dengan sikap adil seperti ditegaskan Allah
SWT dalam Surat an-Nisa’:58.
Karena jabatan pemerintahan adalah amanah,
maka jabatan tersebut tidak bisa diminta, dan orang yang menerima jabatan
seharusnya merasa prihatin bukan malah bersyukur atas jabatan tersebut. Inilah
etika Islam.
Kelima, al-Masuliyyah adalah
tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui bahwa, kekuasaan dan jabatan itu
adalah amanah yangh harus diwaspadai, bukan nikmat yang harus disyukuri, maka
rasa tanggung jawab bagi seorang pemimpin atau penguasa harus dipenuhi.
Dan kekuasaan sebagai amanah ini mememiliki dua pengertian, yaitu amanah yang
harus dipertanggungjawabkan di depan rakyat dan juga amanah yang harus
dipertenggungjawabkan di depan Tuhan.
Seperti yang dikatakan oleh Ibn Taimiyyah,
bahwa penguasa merupakan wakil Tuhan dalam mengurus umat manusia dan sekaligus
wakil umat manusia dalam mengatur dirinya. Dengan dihayatinya prinsip
pertanggungjawaban (al-masuliyyah) ini diharapkan masing-masing orang
berusaha untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi masyarakat luas. Dengan
demikian, pemimpin/penguasa tidak ditempatkan pada posisi sebagai sayyid
al-ummah (penguasa umat), melainkan sebagai khadim al-ummah (pelayan
umat). Dengan demikian, kemaslahatan umat wajib senantiasa menjadi pertimbangan
dalam setiap pengambilan keputusan oleh para penguasa, bukan sebaliknya rakyat
atau umat ditinggalkan.
Keenam, al-Hurriyyah adalah
kebebasan, artinya bahwa setiap orang, setiap warga masyarakat diberi hak dan
kebebasan untuk mengeksperesikan pendapatnya. Sepanjang hal itu dilakukan
dengan cara yang bijak dan memperhatikan al-akhlaq al-karimah dan
dalam rangka al-amr bi-‘l-ma’ruf wa an-nahy ‘an al-‘munkar, maka
tidak ada alasan bagi penguasa untuk mencegahnya. Bahkan yang harus diwaspadai
adalah adanya kemungkinan tidak adanya lagi pihak yang berani melakukan kritik
dan kontrol sosial bagi tegaknya keadilan. Jika sudah tidak ada lagi kontrol
dalam suatu masyarakat, maka kezaliman akan semakin merajalela.
Ada beberapa alasan mengapa islam disebut
sebagai agama demokrasi, yaitu sebagai berikut:
1. Islam
adalah agama hukum, dengan pengertian agama islam berlaku bagi semua orang tanpa
memandang kelas, dari pemegang jabatan tertinggi hingga rakyat jelatah
dikenakan hukum yang sama. Jika tidak demikian, maka hukum dalam islam tidak
berjalan dalam kehidupan.
2. Islam
memiliki asas permusyawaratan “amruhum syuraa bainahum” artinya
perkara-perkara mereka dibicarakan diantara mereka. Dengan demikian, tradisi
bersama-sama mengajukan pemikiran secara bebas dan terbuka diakhiri dengan
kesepakatan.
3. Islam
selalu berpandangan memperbaiki kehidupan manusia tarafnya tidak boleh tetap,
harus terus meningkat untuk menghadapi kehidupan lebih baik di akhirat.
Jadi, prinsip demokrasai pada dasrnya adalah
upaya bersama-sama untuk memperbaiki kehidupan, kareana itulah islam dikatakan
sebagai agama perbaikan “diinul islam” atau agama inovasi.
Untuk itu, islam selau menghendaki demokrasi yang merupakan salah satu ciri
atau jati diri islam sebagai agama hukum.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Demokrasi
adalah bentuk atau mekanisme pemerintahan negara yang menjunjung tinggi
kedaulatan rakyat.
2. Demokrasi
menurut islam dapat diartikan seperti musyawarah, mendengarkan pendapat orang
banyak untuk mencapai keputusan dengan mengedepankan nilai-nilai keagamaan.
3. HAM
adalah hak yang telah dimiliki seseorang sejak ia ada di dalam kandungan.
4. HAM
dalam islam didefinisikan sebagai hak yang dimiliki oleh individu dan kewajiban
bagi negara dan individu tersebut untuk menjaganya.
B. Saran
1. Diharapkan
setelah membaca makalah ini dapat membedakan antara demokrasi di Indonesia dan
demokrasi Islam dan dapat melihat sisi baik dan buruknya.
2. Diharapkan
setelah membaca makalah ini dapat memahami pentingnya HAM dalam kehidupan kita
dan kewajiban kita untuk menjaganya.
DAFTAR PUSTAKA
Kosasih,
Ahmad. 2003. HAM dalam perspektif ISLAM. Jakarta: Salemba Diniyah
MAKALAH HAK ASASI MANUSIA DAN DEMOKRASI MENURUT PANDANGAN ISLAM
Reviewed by Zainul Faozi
on
April 14, 2018
Rating:
Post a Comment